Ari Usman Chaniago
Berbagi itu Indah
Selaku ummat muslim kita tidak boleh mendahului ketentuan yang Allah telah gariskan. Misal perkataan “pasti” itu tidak boleh langsung terucap oleh ummat muslim. Karena yang pasti itu hanya milik Allah.
Maka kita dianjurkan dengan menambahkan kata Insya Allah, karena arti kata tersebut adalah berarti menyerahkan keputusan akhir di tangan Allah SWT. Berarti kata Insya Allah ini berkonotasi bahwa segala cara sudah dilakukan dan akan diprediksi berhasil atau berjalan, tinggal Allah yang akan menentukan keberhasilan tersebut. Jadi ukuran manusia itu adalah kata Insya Allah ini bermakna sudah 99% akan terlaksana.
Karena Nabi Muhammad SAW pernah ditegur oleh Allah yang telah tercatatat dalam Al-Quran dalam surat al-Kahfi ayat 23-24.
Surah al-Kahfi ayat 23-24 memiliki arti, “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut) Insya Allah”.
Kata Insya Allah ini sering didengar oleh kita tetapi kita kadang berdebat diejaan bahasa kita sendiri, maka ini yang akan kita bahas. Bahkan setiap janji akan bertemu kita selalu spontan mengucapkan kata Insya Allah ini.
Dalam pengucapan bahasa arab “Insya Allah” ini bertuliskan إِنْ شَاءَ اللَّهُ yang mengandung arti berarti menyerahkan keputusan akhir di tangan Allah SWT.
Pengucapan dalam ejaan bahasa Indonesia huruf شَا dibaca dengan huruf “sya” misal syukur, syamil, shahid dan sebagainya.
Dalam bahasa asing terkadang pengucapan tidak sama dengan ejaannya. misal untuk bahasa inggris huruf “H” dibaca “eich”. Kalau dalam tulisan misalnya kata High maka dibaca “haigh” maka untuk padanan pengucapan yang sama dengan sya dalam bahasa asing (Bahasa Inggris) maka ejaannya adalah “sha”. maka sering disebutkan oleh para orang-orang bule pengucapan إِنْ شَاءَ اللَّهُ dituliskan dengan ejaan mereka “Inshaa Allah”
Jadi setelah penjelasan ini semoga kita tidak lagi berdebat dengan ejaan dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa asing misal Bahasa Inggris. yang menjadi permasalahan bagi kita adalah setelah pengucapan kalimat Insya Allah terkadang kita sepele, seolah-olah kalimat Insya Allah itu penolakan secara halus. bahkan ada candaan yang keluar Insya Allah orang muslim atau bukan. Na’udzubillah…
Sebab turunnya ayat ini terjadi ketika, kaum Quraisy mengutus an-Nadlr bin al-Harts dan Uqbah bin Abi Mu’ith untuk meminta saran dari seorang pendeta Yahudi di Yastrib. Orang-orang Quraisy mengakui, kaum Yahudi lebih cerdas daripada mereka dalam soal pengetahuan tentang Kitab.
Penugasan ini dilakukan untuk menanyakan kenabian Muhammad. Para pemuka Quraisy juga ingin agar pengetahuan yang diberi pendeta Yahudi dapat digunakan untuk mendebat Rasulullah SAW.
Pendeta Yahudi yang dimaksud lantas menyarankan suatu hal kepada dua utusan ini. Ia berkata, “Kalian hendaknya bertanya kepada Muhammad tentang tiga perkara. Jika Muhammad dapat menjawab tiga pertanyaan ini, maka sungguh ia adalah utusan Allah. Namun, jika tak dapat menjawabnya, ia hanyalah orang biasa yang mengaku-aku sebagai nabi”.
Hal pertama yang ditanyakan adalah tentang pemuda-pemuda pada zaman dahulu yang bepergian dan apa yang terjadi kepada mereka. Kedua, tentang seorang pengembara yang sampai ke Masyriq (timur) dan Maghrib (barat) dan apa yang terjadi padanya. Ketiga, tentang roh.
Para utusan Quraisy itu pun pulang dengan perasaan lega. Sesampainya di Makkah, mereka melapor ke petinggi Quraisy. Tak butuh waktu lama, mereka menemui Nabi Muhammad SAW di dekat Ka’bah. Kepada beliau, mereka menanyakan ketiga persoalan yang dipesankan si pendeta Yahudi.
Mendengar tiga pertanyaan tersebut, Rasulullah SAW menjawab, “Aku akan menjawab pertanyaan kalian besok”. Namun, waktu yang disebutkan telah lewat. Bahkan hingga lima belas malam lamanya, Rasulullah SAW masih menunggu datangnya wahyu yang dibawa malaikat Jibril, yang dapat menerangkan tiga pertanyaan itu.
Kaum musyrikin Makkah mulai mencemooh. Rasulullah sangat berduka dan malu karena tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada kaum Quraisy.
Hingga akhirnya, datanglah Malaikat Jibril membawa wahyu. Yakni, surah al-Kafhi ayat 23-24. Isi surah itu menegur Nabi SAW karena memastikan sesuatu pada esok hari tanpa mengucapkan “insya Allah.”
Selanjutnya, malaikat Jibril juga menyampaikan wahyu yang dapat menjawab tiga pertanyaan yang diajukan oleh pendekat itu. Tentang pemuda-pemuda yang bepergian dijelaskan dalam Ashabul Kahfi (QS 18:9-26), tentang seorang pengembara, yakni Dzulqarnain (QS 18:83-101), dan perkara roh (QS 17:85).
Menurut pakar tafsir Alquran Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Kitab Jaami’ul Bayan, kisah asbabun nuzul di atas mengandung hikmah, “Inilah pengajaran Allah kepada Rasulullah SAW agar jangan memastikan suatu perkara akan terjadi tanpa halangan apa pun, kecuali menghubungkannya dengan kehendak Allah SWT”.
Allahua’lam.