Ari Usman Chaniago
Berbagi itu Indah
Perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Allah menciptakan manusia dengan akal, latar belakang, pengalaman, serta kondisi yang berbeda-beda. Maka, wajar jika perbedaan dalam pandangan, pemahaman, dan penafsiran muncul di tengah masyarakat. Bahkan, dalam Islam sendiri yang berlandaskan wahyu ilahi dan sunnah Nabi ﷺ, perbedaan tetap terjadi di kalangan para sahabat dan ulama besar. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah suatu aib, melainkan sunnatullah yang tidak dapat dihindari.
Namun demikian, persoalan penting yang sering muncul bukanlah apakah perbedaan itu ada atau tidak, tetapi bagaimana umat Islam menyikapi perbedaan tersebut. Jika disikapi dengan adab, maka perbedaan menjadi rahmat dan sumber kekayaan pemikiran. Sebaliknya, jika disikapi dengan fanatisme buta dan emosi, perbedaan akan berbuah perpecahan dan permusuhan.
Imam Malik pernah menasihati seorang pemuda Quraisy: “Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.” (lihat Ibn al-Mubarak, al-Zuhd). Nasihat ini menekankan betapa adab lebih penting daripada sekadar pengetahuan. Maka, ketika membahas perbedaan pendapat, hal utama yang harus diutamakan adalah bagaimana adab dijaga agar ukhuwah Islamiyah tetap terpelihara.
Tulisan ini akan menguraikan secara komprehensif konsep perbedaan dalam Islam, prinsip-prinsip menyikapinya, adab-adab yang harus diterapkan, teladan dari para ulama, hingga relevansinya di era kontemporer. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa adab dalam perbedaan adalah fondasi penting bagi terciptanya umat yang bersatu meskipun berbeda pandangan.
1. Perbedaan Sebagai Sunnatullah
Allah ﷻ menegaskan dalam QS. Hud: 118–119:
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.”
Ayat ini menunjukkan bahwa perbedaan adalah bagian dari rahmat Allah. Hanya dengan hidayah dan rahmat-Nya-lah manusia dapat diarahkan pada kebenaran yang hakiki.
2. Perbedaan di Kalangan Sahabat
Sejak zaman sahabat, perbedaan pendapat sudah ada. Misalnya:
3. Faktor Penyebab Perbedaan
Ulama seperti al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menyebut beberapa faktor penyebab ikhtilaf:
Dengan memahami faktor ini, umat Islam tidak lagi menganggap perbedaan sebagai kelemahan, melainkan wajar adanya.
1. Masa Khulafaur Rasyidin
Para khalifah sering berbeda pendapat dalam urusan hukum dan kebijakan. Namun mereka menyelesaikannya dengan musyawarah. Contoh: Umar bin Khattab berbeda dengan Abu Bakar dalam masalah harta rampasan perang.
2. Masa Tabi‘in
Pada masa ini mulai muncul mazhab-mazhab fiqh di berbagai wilayah, seperti Madinah (Mazhab Maliki), Kufah (Mazhab Hanafi), Syam, dan lainnya.
3. Masa Imam Mazhab
Meski berbeda, mereka saling menghormati. Imam Syafi’i pernah berkata tentang Imam Ahmad: “Aku keluar dari Baghdad dan tidak ada seorang pun yang lebih alim, lebih wara’, dan lebih zuhud daripada Ahmad bin Hanbal.”
1. Tidak Mengklaim Kebenaran Mutlak
Imam Syafi’i: “Pendapatku benar, tapi mungkin salah; pendapat orang lain salah, tapi mungkin benar.”
2. Menggunakan Bahasa yang Lembut
QS. Thaha: 44 – Musa dan Harun diminta berbicara lembut kepada Fir‘aun.
3. Tidak Merendahkan Lawan
QS. Al-Hujurat: 11–12 melarang mencela dan menghina.
4. Menjaga Ukhuwah
Kisah sahabat di Bani Quraizhah membuktikan bahwa ukhuwah lebih utama daripada menang dalam perdebatan.
5. Bermusyawarah dengan Ilmu
QS. Ali Imran: 159 – Nabi diminta bermusyawarah dalam urusan umat.
6. Tidak Membuka Aib
Perbedaan jangan dijadikan alasan untuk mempermalukan orang lain.
1. Dalam Lingkungan Kerja
Perbedaan pendapat di kantor bisa diselesaikan dengan musyawarah, bukan konflik.
2. Dalam Dunia Pendidikan
Guru dan dosen harus menanamkan sikap toleransi ilmiah kepada siswa/mahasiswa.
3. Dalam Masyarakat
Perbedaan mazhab tidak boleh menimbulkan permusuhan.
4. Dalam Media Sosial
Debat sering tidak sehat. Adab sangat penting agar perbedaan tidak berubah jadi ujaran kebencian.
Perbedaan pendapat adalah sunnatullah. Yang membedakan adalah bagaimana kita menyikapinya. Jika dengan adab, perbedaan menjadi rahmat. Jika tanpa adab, perbedaan menjadi sebab perpecahan. Oleh karena itu, umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an, Sunnah, dan teladan para ulama dalam menjaga adab ketika berbeda pendapat.