Menerapkan Adab-Adab dalam Perbedaan Pendapat
September 8, 2025 No Comments Ari Usman,Artikel Islam Ari Usman

Pendahuluan

Perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Allah menciptakan manusia dengan akal, latar belakang, pengalaman, serta kondisi yang berbeda-beda. Maka, wajar jika perbedaan dalam pandangan, pemahaman, dan penafsiran muncul di tengah masyarakat. Bahkan, dalam Islam sendiri yang berlandaskan wahyu ilahi dan sunnah Nabi ﷺ, perbedaan tetap terjadi di kalangan para sahabat dan ulama besar. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah suatu aib, melainkan sunnatullah yang tidak dapat dihindari.

Namun demikian, persoalan penting yang sering muncul bukanlah apakah perbedaan itu ada atau tidak, tetapi bagaimana umat Islam menyikapi perbedaan tersebut. Jika disikapi dengan adab, maka perbedaan menjadi rahmat dan sumber kekayaan pemikiran. Sebaliknya, jika disikapi dengan fanatisme buta dan emosi, perbedaan akan berbuah perpecahan dan permusuhan.

Imam Malik pernah menasihati seorang pemuda Quraisy: “Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.” (lihat Ibn al-Mubarak, al-Zuhd). Nasihat ini menekankan betapa adab lebih penting daripada sekadar pengetahuan. Maka, ketika membahas perbedaan pendapat, hal utama yang harus diutamakan adalah bagaimana adab dijaga agar ukhuwah Islamiyah tetap terpelihara.

Tulisan ini akan menguraikan secara komprehensif konsep perbedaan dalam Islam, prinsip-prinsip menyikapinya, adab-adab yang harus diterapkan, teladan dari para ulama, hingga relevansinya di era kontemporer. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa adab dalam perbedaan adalah fondasi penting bagi terciptanya umat yang bersatu meskipun berbeda pandangan.

Hakikat Perbedaan dalam Islam

1. Perbedaan Sebagai Sunnatullah

Allah ﷻ menegaskan dalam QS. Hud: 118–119:

“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.”

Ayat ini menunjukkan bahwa perbedaan adalah bagian dari rahmat Allah. Hanya dengan hidayah dan rahmat-Nya-lah manusia dapat diarahkan pada kebenaran yang hakiki.

2. Perbedaan di Kalangan Sahabat

Sejak zaman sahabat, perbedaan pendapat sudah ada. Misalnya:

  • Kasus shalat Ashar di Bani Quraizhah. Sebagian sahabat memahami perintah Nabi secara tekstual, sehingga mereka menunda shalat hingga sampai tujuan, meskipun lewat waktu. Sebagian lain memahami secara kontekstual, sehingga mereka tetap shalat di perjalanan. Rasulullah ﷺ tidak menyalahkan salah satu pihak (HR. Bukhari-Muslim).
  • Kasus warisan kakek bersama saudara kandung. Sahabat seperti Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas‘ud, dan Umar bin Khattab memiliki pendapat berbeda dalam masalah ini.

3. Faktor Penyebab Perbedaan

Ulama seperti al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menyebut beberapa faktor penyebab ikhtilaf:

  1. Perbedaan dalam memahami lafaz Al-Qur’an atau Hadis (apakah umum atau khusus, mutlak atau muqayyad).
  2. Perbedaan dalam metode istinbath hukum.
  3. Perbedaan riwayat hadis yang sampai pada seorang ulama.
  4. Faktor bahasa dan konteks budaya.

Dengan memahami faktor ini, umat Islam tidak lagi menganggap perbedaan sebagai kelemahan, melainkan wajar adanya.

Sejarah Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

1. Masa Khulafaur Rasyidin

Para khalifah sering berbeda pendapat dalam urusan hukum dan kebijakan. Namun mereka menyelesaikannya dengan musyawarah. Contoh: Umar bin Khattab berbeda dengan Abu Bakar dalam masalah harta rampasan perang.

2. Masa Tabi‘in

Pada masa ini mulai muncul mazhab-mazhab fiqh di berbagai wilayah, seperti Madinah (Mazhab Maliki), Kufah (Mazhab Hanafi), Syam, dan lainnya.

3. Masa Imam Mazhab

  • Imam Abu Hanifah (w. 150 H) terkenal dengan penggunaan qiyas.
  • Imam Malik (w. 179 H) menggunakan amal ahli Madinah sebagai hujjah.
  • Imam Syafi’i (w. 204 H) menyusun metodologi ushul fiqh dalam al-Risalah.
  • Imam Ahmad (w. 241 H) sangat berhati-hati, mendahulukan hadis di atas qiyas.

Meski berbeda, mereka saling menghormati. Imam Syafi’i pernah berkata tentang Imam Ahmad: “Aku keluar dari Baghdad dan tidak ada seorang pun yang lebih alim, lebih wara’, dan lebih zuhud daripada Ahmad bin Hanbal.”

Prinsip Dasar Menyikapi Perbedaan

  1. Ikhlas mencari kebenaran (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin).
  2. Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah (QS. An-Nisa: 59).
  3. Menghargai ijtihad ulama – mujtahid benar mendapat dua pahala, salah mendapat satu pahala (HR. Bukhari-Muslim).
  4. Membedakan antara ushul dan furu’ – masalah akidah tidak boleh berbeda, tetapi masalah fiqh cabang bisa berbeda.
  5. Menghindari fanatisme buta – Ibn Taymiyyah menulis kitab Raf‘ al-Malam ‘an al-A’immah al-A‘lam untuk menolak sikap menyalahkan ulama.

Adab-Adab dalam Perbedaan Pendapat

1. Tidak Mengklaim Kebenaran Mutlak

Imam Syafi’i: “Pendapatku benar, tapi mungkin salah; pendapat orang lain salah, tapi mungkin benar.”

2. Menggunakan Bahasa yang Lembut

QS. Thaha: 44 – Musa dan Harun diminta berbicara lembut kepada Fir‘aun.

3. Tidak Merendahkan Lawan

QS. Al-Hujurat: 11–12 melarang mencela dan menghina.

4. Menjaga Ukhuwah

Kisah sahabat di Bani Quraizhah membuktikan bahwa ukhuwah lebih utama daripada menang dalam perdebatan.

5. Bermusyawarah dengan Ilmu

QS. Ali Imran: 159 – Nabi diminta bermusyawarah dalam urusan umat.

6. Tidak Membuka Aib

Perbedaan jangan dijadikan alasan untuk mempermalukan orang lain.

Teladan Para Ulama

  • Imam Malik & Imam Abu Hanifah – meski berbeda, saling menghormati.
  • Imam Ahmad & Imam Syafi’i – tetap bersahabat.
  • Imam Ibn Taymiyyah & Ulama sezamannya – meskipun banyak berbeda, Ibn Taymiyyah menulis karya yang adil dalam menilai ijtihad.

Relevansi di Era Kontemporer

1. Dalam Lingkungan Kerja

Perbedaan pendapat di kantor bisa diselesaikan dengan musyawarah, bukan konflik.

2. Dalam Dunia Pendidikan

Guru dan dosen harus menanamkan sikap toleransi ilmiah kepada siswa/mahasiswa.

3. Dalam Masyarakat

Perbedaan mazhab tidak boleh menimbulkan permusuhan.

4. Dalam Media Sosial

Debat sering tidak sehat. Adab sangat penting agar perbedaan tidak berubah jadi ujaran kebencian.

Studi Kasus

  1. Kasus Shalat Tarawih – jumlah rakaat berbeda, tetapi semua berlandaskan dalil.
  2. Kasus Qunut Subuh – sebagian mazhab melakukan, sebagian tidak. Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berbeda, tetapi tidak saling membid’ahkan.
  3. Kasus Politik di Era Modern – perbedaan pandangan politik harus dijaga dengan adab agar tidak memecah umat.

Tantangan Umat di Era Globalisasi

  1. Fanatisme digital – medsos membuat perdebatan makin panas.
  2. Kurangnya literasi agama – banyak orang berdebat tanpa dasar ilmu.
  3. Provokasi pihak luar – perbedaan umat sering dimanfaatkan untuk memecah-belah.

Kesimpulan

Perbedaan pendapat adalah sunnatullah. Yang membedakan adalah bagaimana kita menyikapinya. Jika dengan adab, perbedaan menjadi rahmat. Jika tanpa adab, perbedaan menjadi sebab perpecahan. Oleh karena itu, umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an, Sunnah, dan teladan para ulama dalam menjaga adab ketika berbeda pendapat.

Daftar Pustaka

  1. Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ Ulumiddin. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
  2. Ibn ‘Abd al-Barr, Yusuf. Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhluhu. Kairo: Dar al-Ma’rifah.
  3. Al-Khatib al-Baghdadi. Al-Faqih wal-Mutafaqqih. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif.
  4. Al-Bayhaqi, Abu Bakr. Manaqib al-Imam al-Syafi’i. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  5. Al-‘Alwani, Taha Jabir. Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam. Virginia: IIIT, 1987.
  6. Ibn Taymiyyah. Raf‘ al-Malam ‘an al-A’immah al-A‘lam. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  7. Al-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  8. Al-Qur’an al-Karim.
  9. Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari.
  10. Muslim bin Hajjaj. Shahih Muslim.
Visited 13 times, 1 visit(s) today
About The Author
Ari Usman Seorang Praktisi IT di Bidang Digital Marketing dan Dosen di Bidang Teknik Informatika

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *